URGENSI KEBIJAKAN AI UNTUK DEMONSTRASI PUBLIK - Yuheto

URGENSI KEBIJAKAN AI UNTUK DEMONSTRASI PUBLIK

I. Aktivisme di Ambang Revolusi Digital

Dunia aktivisme dan unjuk rasa sedang mengalami transformasi fundamental. Jika dahulu pengorganisasian massa bergantung pada selebaran, teriakan, dan komunikasi tatap muka, maka hari ini, gelombang protes sosial digerakkan oleh algoritma, bot, dan kecerdasan buatan (AI). Namun, di balik efisiensi yang ditawarkan teknologi ini, tersembunyi sebuah paradoks zaman digital: alat yang mempermudah mobilisasi untuk memperjuangkan demokrasi justru dapat dialihfungsikan menjadi instrumen untuk memanipulasinya. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan tingkat penetrasi media sosial yang sangat tinggi, tidak boleh lengah terhadap fenomena global ini.

URGENSI KEBIJAKAN AI UNTUK DEMONSTRASI PUBLIK

Kebijakan pemerintah Indonesia, Kecerdasan Buatan, AI, regulasi AI, penggunaan AI, aksi demonstrasi, unjuk rasa, mobilisasi massa, aktivisme digital, bot media sosial, astroturfing, deepfake, synthetic media, disinformasi, misinformasi, hoaks, manipulasi opini publik, sentimen publik, privasi aktivis, algoritma, UU ITE, UU PDP, kekosongan regulasi, celah hukum, etika AI, transparansi algoritma, pelabelan konten AI, audit platform, akuntabilitas platform, literasi digital, pendidikan media, BSSN, Kominfo, Kemendikbudristek, keamanan nasional, stabilitas sosial, hak konstitusional, kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, demokrasi digital, ruang publik, diskursus publik, provokasi, kerusuhan, koordinasi otomatis, chatbot, enkripsi, pengawasan digital, perlindungan data, hak asasi manusia, HAM, politik digital, teknologi politik, governance, regulasi teknologi, kebijakan publik, rekomendasi kebijakan, amendemen UU, Peraturan Pemerintah, deteksi bot, penanganan bot, manipulasidemo, narasi polarisasi, kepercayaan digital, post-truth society, masyarakat sipil, multistakeholder, industri teknologi, platform media sosial, Meta, Twitter, TikTok, Indonesia, inovasi digital, keamanan siber, kejahatan siber, tata kelola AI, AI governance, responsible AI, bias algoritma, mitigasi risiko, early warning system, keabsahan informasi, partisipasi publik, keadilan digital, supremasi hukum, transformasi digital, tantangan teknologi, masa depan demokrasi, ketahanan nasional, keamanan informasi, hukum teknologi, advokasi kebijakan, studi kebijakan, opini publik, jurnal kebijakan, Kompasiana, The Conversation.

Tren penggunaan AI dalam protes politik telah mewujud dalam berbagai bentuk di berbagai belahan dunia. Pertama, adalah proliferasi bot media sosial. Akun-akun otomatis ini tidak hanya digunakan untuk menyebarkan informasi, tetapi juga secara sistematis menyebarkan hashtag, mengamplifikasi narasi tertentu (baik yang factual maupun manipulatif), dan menciptakan astroturfing—sebuah ilusi dukungan massa yang semu dan terorganisir, yang dirancang untuk terlihat seperti sebuah gerakan akar rumput yang organik. Kedua, ancaman yang lebih sophisticated datang dari teknologi deepfake. Kemampuan AI untuk menghasilkan video, audio, atau gambar yang hiper-realistis membuka peluang baru untuk provokasi. Bayangkan sebuah video deepfake yang mensimulasikan seorang tokoh nasional mengucapkan pernyataan penghasutan atau sebuah rekaman yang merekayasa insiden kekerasan palsu; konten semacam ini dapat memicu kemarahan publik dan kerusuhan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan kecepatan yang sulit dibendung.

Di sisi lain, AI juga menawarkan alat-alat yang legitimate untuk memperkuat gerakan sosial. Chatbot dapat berfungsi sebagai pusat informasi otomatis yang memberikan update tentang waktu, lokasi, dan perkembangan terkini sebuah demonstrasi, sambil melindungi privasi pengorganisir manusia. Platform enkripsi yang didukung AI memungkinkan koordinasi yang aman dari pengawasan, dan algoritma perencana rute dapat membantu massa menghindari jalur yang diblockir atau area berbahaya secara real-time, memaksimalkan dampak damai dari unjuk rasa.

Perkembangan pesat ini terjadi dalam ruang hampa regulasi. Hukum dan kebijakan yang ada terbukti terlalu lambat dan terlalu umum untuk menjangkau kompleksitas teknis dan etika yang dihadirkan oleh AI. Kekosongan regulasi ini bukanlah celah biasa, melainkan lubang yang berbahaya yang mengancam stabilitas demokrasi. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan kerangka kebijakan yang proaktif dan spesifik—bukan reaktif dan umum—yang dapat memitigasi risiko manipulasi dan disinformasi, sekaligus melindungi ruang demokrasi dan hak konstitusional warganya untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat. Momentum untuk bertindak adalah sekarang, sebelum paradoks digital ini berubah menjadi krisis nyata.

Kebijakan pemerintah Indonesia, Kecerdasan Buatan, AI, regulasi AI, penggunaan AI, aksi demonstrasi, unjuk rasa, mobilisasi massa, aktivisme digital, bot media sosial, astroturfing, deepfake, synthetic media, disinformasi, misinformasi, hoaks, manipulasi opini publik, sentimen publik, privasi aktivis, algoritma, UU ITE, UU PDP, kekosongan regulasi, celah hukum, etika AI, transparansi algoritma, pelabelan konten AI, audit platform, akuntabilitas platform, literasi digital, pendidikan media, BSSN, Kominfo, Kemendikbudristek, keamanan nasional, stabilitas sosial, hak konstitusional, kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, demokrasi digital, ruang publik, diskursus publik, provokasi, kerusuhan, koordinasi otomatis, chatbot, enkripsi, pengawasan digital, perlindungan data, hak asasi manusia, HAM, politik digital, teknologi politik, governance, regulasi teknologi, kebijakan publik, rekomendasi kebijakan, amendemen UU, Peraturan Pemerintah, deteksi bot, penanganan bot, manipulasidemo, narasi polarisasi, kepercayaan digital, post-truth society, masyarakat sipil, multistakeholder, industri teknologi, platform media sosial, Meta, Twitter, TikTok, Indonesia, inovasi digital, keamanan siber, kejahatan siber, tata kelola AI, AI governance, responsible AI, bias algoritma, mitigasi risiko, early warning system, keabsahan informasi, partisipasi publik, keadilan digital, supremasi hukum, transformasi digital, tantangan teknologi, masa depan demokrasi, ketahanan nasional, keamanan informasi, hukum teknologi, advokasi kebijakan, studi kebijakan, opini publik, jurnal kebijakan, Kompasiana, The Conversation.

II. Analisis Dampak: Dua Sisi Mata Uang AI dalam Demonstrasi

Keberadaan Kecerdasan Buatan (AI) dalam gelanggang aktivisme ibarat sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan alat-alat canggih untuk memperkuat demokrasi partisipatif, namun di sisi lain, ia menyimpan potensi risiko yang dapat merongrong stabilitas sosial dan meracuni wacana publik. Pemahaman yang mendalam terhadap kedua sisi ini merupakan prasyarat mutlak untuk merumuskan kebijakan yang berkeadilan.

A. Potensi Positif: Memperkuat Demokrasi Partisipatif

1.    Efisiensi Organisasi:
AI mampu mentransformasi model organisasi gerakan sosial dari yang manual dan tersentralisasi menjadi otomatis dan terdistribusi. Melalui platform berbasis AI, tugas-tugas logistik yang kompleks—seperti pembagian peran relawan, manajemen sumber daya, pengumpulan donasi crowdfunding, dan penjadwalan—dapat dioptimalkan. Chatbot cerdas dapat menjawab pertanyaan umum peserta secara real-time, 24/7, mengurangi beban kerja pengorganisir inti dan menciptakan struktur gerakan yang lebih tangguh dan efisien.

2.    Jangkauan dan Inklusivitas:
Algoritma AI memungkinkan targeting pesan yang sangat spesifik dan personal. Sebuah gerakan dapat menyasar segmen masyarakat yang paling terdampak oleh suatu kebijakan, bahkan hingga ke level demografis dan geografis yang sangat granular. Kemampuan ini menjembatani kesenjangan informasi dan menjangkau kelompok marjinal atau komunitas yang sering terabaikan dalam mobilisasi konvensional, sehingga memperkaya keragaman suara dan perspektif dalam sebuah aksi.

3.    Penyebaran Informasi Real-Time:
Dalam dinamika demonstrasi yang cepat dan seringkang tak terduga, kecepatan informasi adalah kunci. Bot media sosial dan sistem notifikasi berbasis AI dapat berfungsi sebagai pusat komando informasi yang menyebarkan pembaruan penting—seperti perubahan rute, adanya gangguan keamanan, atau titik berkumpul darurat—kepada ribuan peserta secara bersamaan. Kemampuan ini tidak hanya meningkatkan efektivitas aksi tetapi juga dapat menjadi alat critical early warning system yang melindungi keselamatan peserta.

4.    Perlindungan Privasi:
Teknologi enkripsi mutakhir yang didukung oleh AI, seperti aplikasi percakapan yang aman (end-to-end encryption) dan jaringan anonim (Tor), memberikan perisai bagi aktivis dari pengawasan negara atau pihak lain yang berpotensi represif. AI dapat membantu mengamankan data sensitif, melindungi identitas digital para pengorganisir, dan memastikan bahwa hak untuk berprivasi tidak dikorbankan demi hak untuk berkumpul.

B. Potensi Negatif/Risiko: Mengancam Stabilitas dan Kepercayaan Publik

1.    Disinformasi dan Misinformasi Skala Besar:
Inilah risiko paling signifikan. Jaringan bot AI dapat membanjiri ruang digital dengan berita palsu, narasi yang sengaja dipelintir, dan konten polarisasi dengan kecepatan, volume, dan konsistensi yang mustahil dilawan oleh manusia. Serangan "brute force" informasi ini dapat mengacaukan pemahaman publik tentang tujuan sebenarnya sebuah demonstrasi, mengubah opini positif menjadi negatif, dan menciptakan kebingungan massal (mass confusion) yang mematikan deliberasi publik yang sehat.

2.    Manipulasi Sentimen Publik dengan Deepfake:
Teknologi deepfake membawa ancaman pada tingkat yang lebih berbahaya: pemalsuan realitas. Sebuah video deepfake yang mensimulasikan seorang pemimpin oposisi mengakui telah dibayar, atau sebuah rekaman audio palsu petinggi militer yang memerintahkan penembakan, dapat memicu eskalasi konflik dan kekerasan sosial dalam hitungan jam. Kemampuan AI untuk memanipulasi audio-visual ini menggerus fondasi kebenaran objektif, membuat masyarakat sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang rekayasa.

3.    Provokasi dan Kerusuhan:
AI dapat dengan mudah disalahgunakan oleh aktor bad faith untuk menyabotase demonstrasi yang damai. Jaringan bot atau akun-akun troll yang dikendalikan AI dapat menyusup ke dalam kelompok diskusi online untuk menyebarkan pesan penghasutan, mengobarkan emosi negatif, dan mendorong massa melakukan tindakan anarkis. Tujuannya adalah mendiskreditkan gerakan tersebut di mata publik dan memberikan legitimasi bagi tindakan represif dari pihak berwenang.

4.    Erosi Kepercayaan pada Informasi Digital:
Dampak jangka panjang yang paling berbahaya adalah terjadinya "liar paranoia" atau erosi kepercayaan secara sistematis. Ketika masyarakat terus-menerus dibombardir oleh informasi yang tidak bisa diverifikasi dan dihadapkan pada deepfake yang sulit dibedakan, mereka akan mengalami kelelahan kognitif dan apatisme. Pada akhirnya, mereka mungkin akan berhenti mempercayai segala bentuk informasi digital. Kondisi ini melemahkan fondasi diskursus publik, merusak kohesi sosial, dan menciptakan masyarakat yang sinis dan mudah terpecah belah—sebuah kondisi yang ideal bagi penyebaran otoritarianisme.

III. Analisis Kekosongan Regulasi: Mengapa Regulasi Existing Tidak Cukup?

Meskipun Indonesia telah memiliki seperangkat regulasi di bidang digital, kerangka hukum yang ada terbukti tidak memadai untuk menjawab tantangan unik yang ditimbulkan oleh penggunaan AI dalam mobilisasi massa. Analisis terhadap regulasi utama menunjukkan adanya celah hukum (regulatory gap) yang signifikan, baik secara teknis maupun filosofis.

1. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
Undang-Undang ini merupakan legal backbone dunia digital Indonesia, namun desainnya tidak sanggup menjangkau kompleksitas AI.

·         Fokus pada Konten, Bukan Proses atau Aktor: UU ITE dirancang untuk menindak konten yang dianggap melanggar hukum (seperti penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian). Sementara, penggunaan AI dalam demonstrasi justru terletak pada proses pembuatannya (algoritma) dan aktor di baliknya (pengguna bot, pembuat deepfake). UU ITE kesulitan menjerat pihak yang membuat dan mengoperasikan ribuan bot anonim untuk memanipulasi tren, karena konten individual yang disebarkan masing-masing bot mungkin secara teknis tidak melanggar hukum.

·         Tidak Mengatur Aspek Teknis Khusus AI: UU ITE sama sekali tidak menyentuh kewajiban transparansi algoritmapelabelan konten yang dihasilkan AI, atau mekanisme deteksi dan mitigasi penggunaan bot/AI untuk manipulasi opini. Regulasi ini bisu terhadap cara dan sarana (means and tools) yang digunakan untuk menciptakan suatu konten atau tren.

·         Bersifat Reaktif, Bukan Proaktif: Pendekatan UU ITE pada dasarnya adalah reactive—penegakan hukum dilakukan setelah konten ilegal terbit dan dilaporkan. Ini tidak sesuai dengan karakter ancaman AI yang bergerak sangat cepat dan masif. Regulasi yang dibutuhkan harus bersifat proactive dan preventive, yang memaksa platform dan pengembang untuk membangun pengamanan (safeguards) sejak awal untuk mencegah penyalahgunaan sebelum terjadi.

2. UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP):
Meski merupakan langkah maju yang sangat penting, UU PDP memiliki ruang lingkup yang terbatas dan tidak dimaksudkan untuk mengatur persoalan yang dibahas di sini.

·         Ruang Lingkup Terbatas pada Perlindungan Data: Mandat utama UU PDP adalah melindungi data pribadi subjek data. Ia tidak dirancang untuk menangani masalah manipulasi opini publik, dampak sosio-politik dari deepfake, atau etika dalam koordinasi aksi massa menggunakan automasi. Sebuah video deepfake mungkin saja menggunakan data pribadi secara ilegal (dan karenanya dapat dijerat UU PDP), tetapi dampak destruktif utamanya justru terletak pada kemampuannya memicu kerusuhan sosial dan mengikis kepercayaan—aspek yang berada di luar cakupan UU PDP.

Kesimpulan Analisis:
Regulasi yang ada saat ini 
bersifat umum (broad-brush) dan tidak mengantisipasi kompleksitas teknis, kecepatan, serta dampak sosial-etis dari teknologi AI. Menerapkan UU ITE yang sudah ada untuk menjerat penggunaan AI berisiko tinggi disalahartikan dan menjadi alat pembatasan kebebasan berekspresi yang semena-mena, karena tidak memiliki definisi yang jelas tentang apa yang constitutes sebagai "penggunaan AI yang melanggar hukum" dalam konteks unjuk rasa. Kekosongan regulasi ini menciptakan ruang gelap (grey area) yang berbahaya, dimana inovasi dapat dikekang secara tidak pasti atau sebaliknya, penyalahgunaan teknologi dapat merajalela tanpa konsekuensi hukum yang jelas. Oleh karena itu, pendekatan regulasi yang baru, spesifik, dan memahami karakter teknologi menjadi sebuah keharusan.

IV. Rekomendasi Kebijakan: Menuju Regulasi yang Cerdas dan Responsif

Untuk menjawab kekosongan regulasi dan tantangan yang telah diuraikan, pemerintah Indonesia membutuhkan pendekatan kebijakan yang multidimensi, melibatkan aspek teknis, edukasi, dan hukum. Berikut adalah rekomendasi kebijakan yang konkret dan dapat ditindaklanjuti:

1. Kewajiban Transparansi dan Pelabelan Konten AI (Transparency by Design)

·         Deskripsi: Kebijakan ini mewajibkan semua konten yang dihasilkan, dimodifikasi, atau disebarkan secara signifikan oleh sistem AI (terutama deepfake, synthetic media, dan konten yang disebarkan oleh bot politik) untuk memiliki label klarifikasi yang jelas dan mudah diidentifikasi, baik oleh manusia maupun mesin (misalnya, melalui metadata). Label ini harus memberikan informasi bahwa konten tersebut merupakan hasil kreasi atau amplifikasi AI.

·         Implementasi:

o    Kewajiban Platform: Pemerintah harus mewajibkan platform media sosial (seperti Meta, X, TikTok, Instagram) untuk menyediakan dan menerapkan fitur pelabelan ini secara native di platform mereka. Platform juga harus memberikan sanksi tegas terhadap pengguna yang dengan sengaja menghilangkan label atau menyebarkan konten AI berbahaya tanpa label.

o    Standardisasi Teknis: Bekerja sama dengan lembaga seperti BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) dan Kominfo untuk mengembangkan standar teknis dan protokol metadata untuk pelabelan yang konsisten across platforms.

2. Audit dan Akuntabilitas Platform (Platform Accountability)

·         Deskripsi: Kebijakan ini menempatkan tanggung jawab yang lebih besar pada platform media sosial sebagai penjaga gawang (gatekeepers) ruang digital. Platform diwajibkan untuk secara proaktif mendeteksi, menandai, dan menangani penggunaan bot/AI yang digunakan untuk memanipulasi wacana publik dan mobilisasi massa.

·         Implementasi:

o    Laporan Transparansi Berkala: Mewajibkan platform untuk menerbitkan laporan transparansi triwulanan atau semesteran yang merinci upaya mereka dalam mendeteksi dan memitigasi campur tangan AI yang terkoordinasi dan manipulatif, termasuk metrik seperti jumlah akun bot yang dinonaktifkan.

o    Audit Independen: Membentuk lembaga independen multi-pemangku kepentingan (yang melibatkan pakar TI, perwakilan masyarakat sipil, dan akademisi) atau memberikan mandat yang diperkuat kepada BSSN untuk melakukan audit rutin dan independen terhadap algoritma dan mekanisme deteksi yang digunakan oleh platform. Hal ini untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah praktik "window dressing".

3. Program Pendidikan Literasi Digital Nasional (National Digital Literacy)

·         Deskripsi: Kebijakan ini mengakui bahwa pertahanan terkuat melawan penyalahgunaan AI adalah masyarakat yang melek digital dan kritis. Program literasi digital nasional perlu ditingkatkan dan difokuskan kembali untuk mencakup literasi AI dan media secara mendalam.

·         Implementasi:

o    Integrasi Kurikulum: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Kominfo harus mengintegrasikan modul literasi AI dan media ke dalam kurikulum formal, mulai dari tingkat SMP/SMA hingga perguruan tinggi.

o    Kampanye Publik Masif: Meluncurkan kampanye nasional melalui berbagai media (TV, radio, media sosial, komunitas) yang mengajarkan masyarakat cara:

§  Mengidentifikasi Deepfake: Memperhatikan ketidaksempurnaan pada video/audio, seperti sinkronisasi bibir yang aneh atau bayangan yang tidak konsisten.

§  Memahami Bias Algoritma: Menyadari bahwa apa yang mereka lihat di media sosial adalah hasil kurasi algoritma yang mungkin memiliki bias dan tujuan tertentu.

§  Bersikap Kritis terhadap Otomasi: Menganalisis akun-akun yang menyebarkan informasi (cek follower, pola posting, umur akun) untuk mendeteksi kemungkinan akun bot.

4. Payung Hukum yang Spesifik (Specific Legal Framework)

·         Deskripsi: Rekomendasi di atas membutuhkan pondasi hukum yang kuat dan spesifik. Regulasi yang ada (UU ITE, UU PDP) terlalu umum. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum baru yang secara khusus merinci aturan main penggunaan AI dalam konteks mobilisasi publik.

·         Implementasi:

o    Peraturan Pemerintah (PP) atau Amendemen UU: Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Kecerdasan Artifisial dalam Ruang Digital atau mengamandemens UU ITE dengan menambahkan bab khusus.

o    Isi Payung Hukum Baru Harus Meliputi:

§  Definisi Operasional: Mendefinisikan dengan jelas istilah-istilah kunci seperti "bot politik", "deepfake", "koordinasi otomatis", dan "mobilisasi massa berbasis AI" untuk menghindari penafsiran yang luas dan semena-mena.

§  Batasan Etis dan Hukum yang Jelas: Menetapkan larangan eksplisit terhadap penggunaan deepfake untuk tujuan provokasi dan penipuan, serta pembatasan penggunaan bot untuk menghasut kekerasan atau menyebarkan disinformasi skala besar.

§  Sanksi yang Proporsional dan Tegas: Menjabarkan sanksi hukum yang tegas dan proporsional bagi pelanggar, yang dibedakan berdasarkan tingkat kesalahan dan dampaknya. Sanksi harus menerapkan prinsip proporsionalitas dan tidak boleh mengorbankan kebebasan berekspresi yang sah.

 

V. Menjaga Keseimbangan Demokrasi di Era Automasi

Sebagaimana pisau bermata dua, teknologi Kecerdasan Buatan (AI) pada hakikatnya adalah alat yang netral. Namun, dampaknya—apakah menjadi penopang demokrasi partisipatif atau senjata perusak stabilitas—sepenuhnya ditentukan oleh kualitas regulasi yang mengaturnya. Artikel ini telah membuktikan bahwa Indonesia tidak dapat lagi bersikap complacent dan hanya menjadi penonton. Kekosongan regulasi yang ada saat ini merupakan sebuah lubang keamanan nasional (national security vulnerability) yang berbahaya, sehingga perumusan kebijakan yang spesifik, visioner, dan adaptif adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

Pendekatan kebijakan yang diambil haruslah mencari jalan tengah yang bijaksana (a wise middle ground). Di satu sisi, kebijakan harus secara teguh melindungi hak konstitusional warga negara, yaitu hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat, yang merupakan napas dari kehidupan demokrasi. Inovasi digital yang mempermudah akses terhadap informasi dan organisasi harus dijamin dan dikembangkan. Di sisi lain, kebijakan juga harus dengan cermat menjaga stabilitas sosial dan keamanan nasional dari ancaman manipulasi, disinformasi berskala besar, dan provokasi yang dipicu oleh penyalahgunaan teknologi. Kedua tujuan ini bukanlah oposisi biner, melainkan dua pilar yang harus didirikan secara bersamaan untuk membangun ruang publik digital yang sehat dan berdaulat.

Oleh karena itu, pesan penutup yang hendak disampaikan adalah seruan untuk bertindak segera dan secara kolaboratif. Masa depan ruang publik digital Indonesia akan ditentukan oleh langkah yang kita ambil hari ini. Dengan merumuskan kebijakan yang proaktif, melibatkan multistakeholder (pemerintah, akademisi, industri teknologi, dan masyarakat sipil), serta berpusat pada perlindungan hak-hak dasar masyarakat, Indonesia tidak hanya akan mampu menangkal segala bentuk ancaman, tetapi juga dapat memanfaatkan potensi positif AI untuk memperkuat fondasi demokrasi, meningkatkan partisipasi publik, dan pada akhirnya menjadi contoh bagi negara-negara demokrasi lainnya di dunia. Momentum untuk membentuk masa depan yang inklusif dan aman ada di genggaman kita; jangan sampai kita melewatkannya.

Belum ada Komentar untuk "URGENSI KEBIJAKAN AI UNTUK DEMONSTRASI PUBLIK"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel