URGENSI KEBIJAKAN AI UNTUK DEMONSTRASI PUBLIK
I. Aktivisme di Ambang Revolusi Digital
Dunia aktivisme dan unjuk rasa sedang
mengalami transformasi fundamental. Jika dahulu pengorganisasian massa
bergantung pada selebaran, teriakan, dan komunikasi tatap muka, maka hari ini,
gelombang protes sosial digerakkan oleh algoritma, bot, dan kecerdasan buatan
(AI). Namun, di balik efisiensi yang ditawarkan teknologi ini, tersembunyi
sebuah paradoks zaman digital: alat yang mempermudah mobilisasi untuk
memperjuangkan demokrasi justru dapat dialihfungsikan menjadi instrumen untuk
memanipulasinya. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia
dengan tingkat penetrasi media sosial yang sangat tinggi, tidak boleh lengah
terhadap fenomena global ini.
URGENSI KEBIJAKAN AI UNTUK DEMONSTRASI PUBLIK

Tren
penggunaan AI dalam protes politik telah mewujud dalam berbagai bentuk di
berbagai belahan dunia. Pertama, adalah proliferasi bot media sosial. Akun-akun otomatis
ini tidak hanya digunakan untuk menyebarkan informasi, tetapi juga secara
sistematis menyebarkan hashtag, mengamplifikasi narasi tertentu (baik yang
factual maupun manipulatif), dan menciptakan astroturfing—sebuah ilusi
dukungan massa yang semu dan terorganisir, yang dirancang untuk terlihat
seperti sebuah gerakan akar rumput yang organik. Kedua, ancaman yang lebih
sophisticated datang dari teknologi deepfake. Kemampuan AI untuk menghasilkan video,
audio, atau gambar yang hiper-realistis membuka peluang baru untuk provokasi.
Bayangkan sebuah video deepfake yang mensimulasikan seorang tokoh nasional
mengucapkan pernyataan penghasutan atau sebuah rekaman yang merekayasa insiden
kekerasan palsu; konten semacam ini dapat memicu kemarahan publik dan kerusuhan
dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan kecepatan yang sulit
dibendung.
Di
sisi lain, AI juga menawarkan alat-alat yang legitimate untuk memperkuat
gerakan sosial. Chatbot dapat berfungsi sebagai pusat informasi otomatis yang
memberikan update tentang waktu, lokasi, dan perkembangan terkini sebuah
demonstrasi, sambil melindungi privasi pengorganisir manusia. Platform enkripsi yang didukung
AI memungkinkan koordinasi yang aman dari pengawasan, dan algoritma perencana rute dapat membantu
massa menghindari jalur yang diblockir atau area berbahaya secara real-time,
memaksimalkan dampak damai dari unjuk rasa.
Perkembangan
pesat ini terjadi dalam ruang hampa regulasi. Hukum dan kebijakan yang ada
terbukti terlalu lambat dan terlalu umum untuk menjangkau kompleksitas teknis
dan etika yang dihadirkan oleh AI. Kekosongan regulasi ini bukanlah celah
biasa, melainkan lubang yang berbahaya yang mengancam stabilitas
demokrasi. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan kerangka kebijakan yang
proaktif dan spesifik—bukan reaktif dan umum—yang dapat memitigasi risiko manipulasi
dan disinformasi, sekaligus melindungi ruang demokrasi dan hak konstitusional
warganya untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat. Momentum untuk bertindak
adalah sekarang, sebelum paradoks digital ini berubah menjadi krisis nyata.

II.
Analisis Dampak: Dua Sisi Mata Uang AI dalam Demonstrasi
Keberadaan
Kecerdasan Buatan (AI) dalam gelanggang aktivisme ibarat sebuah pisau bermata
dua. Di satu sisi, ia menawarkan alat-alat canggih untuk memperkuat demokrasi
partisipatif, namun di sisi lain, ia menyimpan potensi risiko yang dapat
merongrong stabilitas sosial dan meracuni wacana publik. Pemahaman yang
mendalam terhadap kedua sisi ini merupakan prasyarat mutlak untuk merumuskan
kebijakan yang berkeadilan.
A. Potensi Positif: Memperkuat Demokrasi Partisipatif
1.
Efisiensi Organisasi:
AI mampu mentransformasi model organisasi gerakan sosial dari yang manual dan
tersentralisasi menjadi otomatis dan terdistribusi. Melalui platform berbasis
AI, tugas-tugas logistik yang kompleks—seperti pembagian peran relawan,
manajemen sumber daya, pengumpulan donasi crowdfunding, dan penjadwalan—dapat
dioptimalkan. Chatbot cerdas dapat menjawab pertanyaan umum peserta secara
real-time, 24/7, mengurangi beban kerja pengorganisir inti dan menciptakan
struktur gerakan yang lebih tangguh dan efisien.
2.
Jangkauan dan Inklusivitas:
Algoritma AI memungkinkan targeting pesan yang sangat spesifik dan personal.
Sebuah gerakan dapat menyasar segmen masyarakat yang paling terdampak oleh
suatu kebijakan, bahkan hingga ke level demografis dan geografis yang sangat
granular. Kemampuan ini menjembatani kesenjangan informasi dan menjangkau
kelompok marjinal atau komunitas yang sering terabaikan dalam mobilisasi
konvensional, sehingga memperkaya keragaman suara dan perspektif dalam sebuah
aksi.
3.
Penyebaran Informasi Real-Time:
Dalam dinamika demonstrasi yang cepat dan seringkang tak terduga, kecepatan
informasi adalah kunci. Bot media sosial dan sistem notifikasi berbasis AI
dapat berfungsi sebagai pusat komando informasi yang menyebarkan pembaruan
penting—seperti perubahan rute, adanya gangguan keamanan, atau titik berkumpul
darurat—kepada ribuan peserta secara bersamaan. Kemampuan ini tidak hanya
meningkatkan efektivitas aksi tetapi juga dapat menjadi alat critical early
warning system yang melindungi keselamatan peserta.
4.
Perlindungan Privasi:
Teknologi enkripsi mutakhir yang didukung oleh AI, seperti aplikasi percakapan
yang aman (end-to-end encryption) dan jaringan anonim (Tor), memberikan perisai
bagi aktivis dari pengawasan negara atau pihak lain yang berpotensi represif.
AI dapat membantu mengamankan data sensitif, melindungi identitas digital para
pengorganisir, dan memastikan bahwa hak untuk berprivasi tidak dikorbankan demi
hak untuk berkumpul.
B. Potensi Negatif/Risiko: Mengancam Stabilitas dan
Kepercayaan Publik
1.
Disinformasi dan Misinformasi Skala Besar:
Inilah risiko paling signifikan. Jaringan bot AI dapat membanjiri ruang digital
dengan berita palsu, narasi yang sengaja dipelintir, dan konten polarisasi
dengan kecepatan, volume, dan konsistensi yang mustahil dilawan oleh manusia.
Serangan "brute force" informasi ini dapat mengacaukan pemahaman
publik tentang tujuan sebenarnya sebuah demonstrasi, mengubah opini positif
menjadi negatif, dan menciptakan kebingungan massal (mass confusion) yang
mematikan deliberasi publik yang sehat.
2.
Manipulasi Sentimen Publik dengan Deepfake:
Teknologi deepfake membawa ancaman pada tingkat yang lebih berbahaya: pemalsuan
realitas. Sebuah video deepfake yang mensimulasikan seorang pemimpin oposisi
mengakui telah dibayar, atau sebuah rekaman audio palsu petinggi militer yang memerintahkan
penembakan, dapat memicu eskalasi konflik dan kekerasan sosial dalam hitungan
jam. Kemampuan AI untuk memanipulasi audio-visual ini menggerus fondasi
kebenaran objektif, membuat masyarakat sulit membedakan mana yang nyata dan
mana yang rekayasa.
3.
Provokasi dan Kerusuhan:
AI dapat dengan mudah disalahgunakan oleh aktor bad faith untuk menyabotase
demonstrasi yang damai. Jaringan bot atau akun-akun troll yang dikendalikan AI
dapat menyusup ke dalam kelompok diskusi online untuk menyebarkan pesan penghasutan,
mengobarkan emosi negatif, dan mendorong massa melakukan tindakan anarkis.
Tujuannya adalah mendiskreditkan gerakan tersebut di mata publik dan memberikan
legitimasi bagi tindakan represif dari pihak berwenang.
4.
Erosi Kepercayaan pada Informasi Digital:
Dampak jangka panjang yang paling berbahaya adalah terjadinya "liar
paranoia" atau erosi kepercayaan secara sistematis. Ketika masyarakat
terus-menerus dibombardir oleh informasi yang tidak bisa diverifikasi dan
dihadapkan pada deepfake yang sulit dibedakan, mereka akan mengalami kelelahan
kognitif dan apatisme. Pada akhirnya, mereka mungkin akan berhenti
mempercayai segala bentuk
informasi digital. Kondisi ini melemahkan fondasi diskursus publik, merusak
kohesi sosial, dan menciptakan masyarakat yang sinis dan mudah terpecah
belah—sebuah kondisi yang ideal bagi penyebaran otoritarianisme.
III.
Analisis Kekosongan Regulasi: Mengapa Regulasi Existing Tidak Cukup?
Meskipun
Indonesia telah memiliki seperangkat regulasi di bidang digital, kerangka hukum
yang ada terbukti tidak memadai untuk menjawab tantangan unik yang ditimbulkan
oleh penggunaan AI dalam mobilisasi massa. Analisis terhadap regulasi utama
menunjukkan adanya celah hukum (regulatory
gap) yang signifikan, baik secara teknis maupun filosofis.
1. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
Undang-Undang ini merupakan legal
backbone dunia digital Indonesia, namun desainnya tidak
sanggup menjangkau kompleksitas AI.
·
Fokus pada Konten, Bukan Proses atau Aktor: UU ITE
dirancang untuk menindak konten yang dianggap melanggar hukum (seperti penghinaan,
pencemaran nama baik, ujaran kebencian). Sementara, penggunaan AI dalam
demonstrasi justru terletak pada proses pembuatannya (algoritma) dan aktor di baliknya
(pengguna bot, pembuat deepfake). UU ITE kesulitan menjerat pihak yang membuat
dan mengoperasikan ribuan bot anonim untuk memanipulasi tren, karena konten
individual yang disebarkan masing-masing bot mungkin secara teknis tidak
melanggar hukum.
·
Tidak Mengatur Aspek Teknis Khusus AI: UU ITE sama
sekali tidak menyentuh kewajiban transparansi algoritma, pelabelan konten yang
dihasilkan AI, atau mekanisme deteksi dan mitigasi penggunaan
bot/AI untuk manipulasi opini. Regulasi ini bisu terhadap cara dan sarana (means and tools) yang
digunakan untuk menciptakan suatu konten atau tren.
·
Bersifat Reaktif, Bukan Proaktif: Pendekatan UU
ITE pada dasarnya adalah reactive—penegakan
hukum dilakukan setelah konten ilegal terbit dan dilaporkan. Ini tidak sesuai
dengan karakter ancaman AI yang bergerak sangat cepat dan masif. Regulasi yang
dibutuhkan harus bersifat proactive dan preventive, yang
memaksa platform dan pengembang untuk membangun pengamanan (safeguards) sejak awal
untuk mencegah penyalahgunaan sebelum terjadi.
2. UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP):
Meski merupakan langkah maju yang sangat penting, UU PDP memiliki ruang lingkup
yang terbatas dan tidak dimaksudkan untuk mengatur persoalan yang dibahas di
sini.
·
Ruang Lingkup Terbatas pada Perlindungan Data: Mandat utama UU
PDP adalah melindungi data pribadi subjek data. Ia tidak dirancang untuk
menangani masalah manipulasi opini publik, dampak sosio-politik dari deepfake, atau etika
dalam koordinasi aksi massa menggunakan automasi. Sebuah video deepfake
mungkin saja menggunakan data pribadi secara ilegal (dan karenanya dapat
dijerat UU PDP), tetapi dampak destruktif utamanya justru terletak pada
kemampuannya memicu kerusuhan sosial dan mengikis kepercayaan—aspek yang berada
di luar cakupan UU PDP.
Kesimpulan
Analisis:
Regulasi yang ada saat ini bersifat umum (broad-brush) dan tidak
mengantisipasi kompleksitas teknis, kecepatan, serta dampak sosial-etis dari
teknologi AI. Menerapkan UU ITE yang sudah ada untuk menjerat penggunaan AI
berisiko tinggi disalahartikan dan menjadi alat pembatasan kebebasan
berekspresi yang semena-mena, karena tidak memiliki definisi yang jelas tentang
apa yang constitutes sebagai "penggunaan AI yang melanggar hukum"
dalam konteks unjuk rasa. Kekosongan regulasi ini menciptakan ruang gelap (grey area) yang
berbahaya, dimana inovasi dapat dikekang secara tidak pasti atau sebaliknya,
penyalahgunaan teknologi dapat merajalela tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Oleh karena itu, pendekatan regulasi yang baru, spesifik, dan memahami karakter
teknologi menjadi sebuah keharusan.
IV.
Rekomendasi Kebijakan: Menuju Regulasi yang Cerdas dan Responsif
Untuk
menjawab kekosongan regulasi dan tantangan yang telah diuraikan, pemerintah
Indonesia membutuhkan pendekatan kebijakan yang multidimensi, melibatkan aspek
teknis, edukasi, dan hukum. Berikut adalah rekomendasi kebijakan yang konkret
dan dapat ditindaklanjuti:
1. Kewajiban Transparansi dan Pelabelan Konten AI (Transparency
by Design)
·
Deskripsi: Kebijakan ini mewajibkan semua konten yang dihasilkan,
dimodifikasi, atau disebarkan secara signifikan oleh sistem AI (terutama
deepfake, synthetic media, dan konten yang disebarkan oleh bot politik) untuk
memiliki label klarifikasi yang jelas dan mudah diidentifikasi, baik oleh manusia
maupun mesin (misalnya, melalui metadata). Label ini harus memberikan informasi
bahwa konten tersebut merupakan hasil kreasi atau amplifikasi AI.
·
Implementasi:
o
Kewajiban Platform: Pemerintah harus mewajibkan
platform media sosial (seperti Meta, X, TikTok, Instagram) untuk menyediakan
dan menerapkan fitur pelabelan ini secara native di platform mereka. Platform
juga harus memberikan sanksi tegas terhadap pengguna yang dengan sengaja
menghilangkan label atau menyebarkan konten AI berbahaya tanpa label.
o
Standardisasi Teknis: Bekerja sama dengan lembaga
seperti BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) dan Kominfo untuk mengembangkan
standar teknis dan protokol metadata untuk pelabelan yang konsisten across
platforms.
2. Audit dan Akuntabilitas Platform (Platform Accountability)
·
Deskripsi: Kebijakan ini menempatkan tanggung jawab yang lebih besar
pada platform media sosial sebagai penjaga gawang (gatekeepers) ruang digital. Platform
diwajibkan untuk secara proaktif mendeteksi, menandai, dan menangani penggunaan
bot/AI yang digunakan untuk memanipulasi wacana publik dan mobilisasi massa.
·
Implementasi:
o
Laporan Transparansi Berkala: Mewajibkan
platform untuk menerbitkan laporan transparansi triwulanan atau semesteran yang
merinci upaya mereka dalam mendeteksi dan memitigasi campur tangan AI yang
terkoordinasi dan manipulatif, termasuk metrik seperti jumlah akun bot yang
dinonaktifkan.
o
Audit Independen: Membentuk lembaga independen multi-pemangku kepentingan
(yang melibatkan pakar TI, perwakilan masyarakat sipil, dan akademisi) atau
memberikan mandat yang diperkuat kepada BSSN untuk melakukan
audit rutin dan independen terhadap algoritma dan mekanisme deteksi yang
digunakan oleh platform. Hal ini untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah
praktik "window dressing".
3. Program Pendidikan Literasi Digital Nasional (National
Digital Literacy)
·
Deskripsi: Kebijakan ini mengakui bahwa pertahanan terkuat melawan
penyalahgunaan AI adalah masyarakat yang melek digital dan kritis. Program
literasi digital nasional perlu ditingkatkan dan difokuskan kembali untuk
mencakup literasi AI dan media secara mendalam.
·
Implementasi:
o
Integrasi Kurikulum: Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Kominfo harus
mengintegrasikan modul literasi AI dan media ke dalam kurikulum formal, mulai
dari tingkat SMP/SMA hingga perguruan tinggi.
o Kampanye Publik Masif: Meluncurkan kampanye
nasional melalui berbagai media (TV, radio, media sosial, komunitas) yang
mengajarkan masyarakat cara:
§
Mengidentifikasi Deepfake: Memperhatikan
ketidaksempurnaan pada video/audio, seperti sinkronisasi bibir yang aneh atau
bayangan yang tidak konsisten.
§
Memahami Bias Algoritma: Menyadari bahwa apa yang mereka
lihat di media sosial adalah hasil kurasi algoritma yang mungkin memiliki bias
dan tujuan tertentu.
§
Bersikap Kritis terhadap Otomasi: Menganalisis
akun-akun yang menyebarkan informasi (cek follower, pola posting, umur akun)
untuk mendeteksi kemungkinan akun bot.
4. Payung Hukum yang Spesifik (Specific Legal Framework)
·
Deskripsi: Rekomendasi di atas membutuhkan pondasi hukum yang kuat
dan spesifik. Regulasi yang ada (UU ITE, UU PDP) terlalu umum. Oleh karena itu,
diperlukan payung hukum baru yang secara khusus merinci aturan main penggunaan
AI dalam konteks mobilisasi publik.
·
Implementasi:
o
Peraturan Pemerintah (PP) atau Amendemen UU: Pemerintah
dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Kecerdasan Artifisial
dalam Ruang Digital atau mengamandemens UU ITE dengan menambahkan bab khusus.
o Isi Payung Hukum Baru Harus
Meliputi:
§
Definisi Operasional: Mendefinisikan dengan jelas istilah-istilah
kunci seperti "bot politik", "deepfake", "koordinasi
otomatis", dan "mobilisasi massa berbasis AI" untuk menghindari
penafsiran yang luas dan semena-mena.
§
Batasan Etis dan Hukum yang Jelas: Menetapkan
larangan eksplisit terhadap penggunaan deepfake untuk tujuan provokasi dan
penipuan, serta pembatasan penggunaan bot untuk menghasut kekerasan atau
menyebarkan disinformasi skala besar.
§
Sanksi yang Proporsional dan Tegas: Menjabarkan
sanksi hukum yang tegas dan proporsional bagi pelanggar, yang dibedakan
berdasarkan tingkat kesalahan dan dampaknya. Sanksi harus menerapkan prinsip proporsionalitas dan tidak boleh
mengorbankan kebebasan berekspresi yang sah.
V. Menjaga
Keseimbangan Demokrasi di Era Automasi
Sebagaimana
pisau bermata dua, teknologi Kecerdasan Buatan (AI) pada hakikatnya adalah alat
yang netral. Namun, dampaknya—apakah menjadi penopang demokrasi partisipatif
atau senjata perusak stabilitas—sepenuhnya ditentukan oleh kualitas regulasi
yang mengaturnya. Artikel ini telah membuktikan bahwa Indonesia tidak dapat
lagi bersikap complacent dan hanya menjadi penonton. Kekosongan regulasi yang
ada saat ini merupakan sebuah lubang keamanan nasional (national security
vulnerability) yang berbahaya, sehingga perumusan kebijakan yang spesifik, visioner, dan
adaptif adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.
Pendekatan
kebijakan yang diambil haruslah mencari jalan tengah yang bijaksana
(a wise middle ground). Di satu sisi, kebijakan harus secara teguh melindungi hak
konstitusional warga negara, yaitu hak untuk berkumpul dan menyampaikan
pendapat, yang merupakan napas dari kehidupan demokrasi. Inovasi digital yang
mempermudah akses terhadap informasi dan organisasi harus dijamin dan
dikembangkan. Di sisi lain, kebijakan juga harus dengan cermat menjaga
stabilitas sosial dan keamanan nasional dari ancaman manipulasi, disinformasi
berskala besar, dan provokasi yang dipicu oleh penyalahgunaan teknologi. Kedua
tujuan ini bukanlah oposisi biner, melainkan dua pilar yang harus didirikan
secara bersamaan untuk membangun ruang publik digital yang sehat dan berdaulat.
Belum ada Komentar untuk "URGENSI KEBIJAKAN AI UNTUK DEMONSTRASI PUBLIK"
Posting Komentar